Bandung – Di tengah gejolak kondisi ekonomi nasional, employability sebagai salah satu indikator kinerja perguruan tinggi tengah menjadi isu yang santer diperbincangkan.
Sebagaimana lazimnya peran science park, fungsi utama inkubasi bisnis adalah mencetak dan melahirkan wirausahawan muda. Mereka adalah para alumni entrepreneur, lulusan yang tidak hanya mencari pekerjaan, tetapi justru menciptakan lapangan pekerjaan. Namun, di tengah ramainya isu employability, kelompok alumni ini masih terasa kurang mendapat sorotan yang semestinya.
Tiga minggu lalu, kami kedatangan dua orang alumni untuk berbagi cerita dengan para yuniornya. Alumni pertama menuturkan perjalanan merintis usaha sambil berkuliah, hampir sepuluh tahun silam, bersama dua sahabatnya. Kini, startup yang mereka bangun telah memperoleh investasi lebih dari USD 60 juta. Di tengah tantangan ekonomi global, perusahaannya kini menyentuh lebih dari 50.000 nelayan dan mengekspor komoditas laut ke lebih dari 30 negara.
Kita mengenalnya: Farid Nauval Aslam, alumni Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Telkom, founder dan CEO Aruna Jaya Nusantara — startup yang ia dirikan bersama teman sekelasnya, Utari dan Indraka.
Membanggakan, tentu saja.
Penutur kisah kedua adalah Aris Pujud Kurniawan, alumni Fakultas Teknik Elektro Universitas Telkom. Sejak 2019, ia mendirikan startup Transtrack sambil berkuliah. Meski baru berusia enam tahun, Transtrack kini telah mempekerjakan sekitar 400 orang, memiliki kantor operasi di Bandung, Jakarta, Malaysia, Singapura, dan Australia, serta meraih berbagai penghargaan bergengsi di bidang logistik.
Lagi-lagi, sungguh membanggakan.
Beberapa bulan sebelumnya, seorang alumni Teknik Informatika juga berbagi cerita. Setelah beberapa kali gagal membangun startup di lingkungan kampus, ia akhirnya mendirikan sebuah software house bersama adik kelasnya. Kini, perusahaannya mempekerjakan 20–30 orang knowledge worker.
Para alumni entrepreneur ini memiliki jejak yang tidak biasa. Jika diukur employability-nya dalam beberapa bulan setelah lulus, mereka mungkin belum memiliki gaji tetap (salary). Namun seiring waktu, dampak mereka sangat besar. Ukuran employability konvensional tampaknya tidak lagi relevan bagi mereka — karena mereka bukan lagi employee, melainkan employer, para job creator.
Kesamaan dari kisah-kisah ini adalah semangat yang sama: mereka semua memulai usaha sejak di bangku kuliah, terpicu oleh dorongan dan ekosistem kampus yang mendukung.
Hal inilah yang menjadi dasar tulisan ini — agar strategi penguatan kurikulum dan co-kurikuler entrepreneurship dapat dicanangkan di setiap program studi, sebagai upaya konkret memperkuat employability.
Litbang Kompas pernah merilis hasil penelitian terhadap mahasiswa Gen Z di kota-kota besar. Hasilnya, 62,5% responden menyatakan ingin memiliki usaha sendiri di masa depan. Mereka sebenarnya hanya membutuhkan pemicu — dalam bentuk ekosistem kampus yang mendukung, baik melalui kurikulum maupun kegiatan co-kurikuler.
Bagi Universitas Telkom, upaya ini sejalan dengan misi utamanya menjadi National Excellence Entrepreneurial University. Salah satu dari delapan pilar HEInnovate yang menjadi pedoman entrepreneurial university: Preparing Entrepreneurship!
Penulis: Iwan Iwut Tritoasmoro, Direktur Bandung Techno Park - Telkom University | Editor: Admin Marketing | Foto: Marketing